Refleksi 2
Kuliah Filsafat Ilmu
SEJARAH
FILSAFAT
SOCRATES
(470 – 399 SM)
Dengan sekuat tenaga ia menentang ajaran para sofis. Ia membela yang
benar dan yang baik, sebagai nilai-nilai yang obyektif yang harus di junjung
tinggi oleh semua orang. Ia seorang filsuf yang jujur dan berani. Ia dihukum
mati dengan meminum cawan berisi racun. Murid yang paling setia adalah Plato
PLATO
(427 – 347 SM)
Dilahirkan di Antena dalam kalangan bangsawan, ia mendirikan sekolah
diberi Akademia. Menurut Plato , manusia dapat dibandingkan orang tahanan,
mereka hanya melihat bayang-bayang yang dipantulkan dinding gua, namun setelah
dilepaskan mereka melihat cahaya matahari yang menyilaukan, dan orang yang
lepas tadi, masuk lagi ke dalam gua dan memberitahukan kepada teman-temannya
bahwa bayangan di dalam gua itu bukan realitas, Tapi realitas yang diceritakan
kepada teman-temannya dalam gua tidak dipercaya oleh mereka Menurut plato
realitas seluruhnya seakan terbagi atas 2 dunia
ARISTOTELES (384 – 322 SM)
Berasal dari Stageira di daerah thrake,
Yunani utara, belajar dalam Akademi Plato di Anthena, tinggal di sana sampai
plato wafat. 2 tahun mengajar pangeran Alexander Agung , lalu kemudian Ia
mendirikan sekolah bernama Lykeion (dilatinkan Lyceum) . Aristoteles lebih
kearah ilmu pengetahuan yang sedapat mungkin menyelidiki dan mengumpulkan data
kongkret. Kritik tajam ditujukan pada Plato tentang ide-ide, jadi manusia yang
kongkret aja. Ia berpendapat setiap jasmani terdiri 2 hal yaitu bentuk dan
materi, Namun yang dimaksudkannya bentuk materi dalam arti metafisika. Materi
menurutnya adalah materi yang pertama (hyle prote) . dengan kata pertama
dimaksudkan bahwa meteri sama sekali tidak ditentukan. Dengan kata pertama
materi pertama selalu mempunyai salah satu bentuk Bentuk (morphe) ialah
perinsip yang menentukan. Karena materi pertama suatu benda merupakan benda
kongkret mempunyai kodrat tertentu,
termasuk jenis tertentu (pohon misalnya bukan
binatang) dan akibatnya dapat di kenal oleh rasio kita. Dengan itu kiranya
jelas bahwa buat nya ilmu pengetahuan dimungkinkan atas dasar bentuk yang
terdapat dalam setiap benda kongkret. Teori ini dinamakan Hilemorfisisme
Zaman Modern
(1500 - 1800)
Para filsuf
zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau
ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia
sendiri. Namun tentang aspek mana yang
berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme,
sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin,
maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan
kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme
Dipelopori oleh Rene Descartes
(1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia
menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian
kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian
yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu
"saya ragu-ragu". Ini bukan
khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu". Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu
langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku
berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah
kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.
-- Mengapa kebenaran itu pasti?
Sebab aku mengerti itu dengan "jelas, dan terpilah-pilah" --
"clearly and distinctly", "clara et distincta". Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah
yang harus diterima sebagai benar. Dan
itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas
atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas
pikiran (res cogitan), (2) realitas
perluasan (res extensa, "extention")
atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab
sempurna dari kedua realitas itu).
Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak
dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan
dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari
Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga.
Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas
pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang
hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang,
dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat,
bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena
dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah
komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor kaum
rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam
pikiran.
Aliran empririsme
Nyata dalam pemikiran David Hume
(1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah
(yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi
manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang
paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume,
yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa
ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari
kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan
adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin,
ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada
substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi.
Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu
mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku"
tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (= kesadaran
tertentu)".
Kausalitas.
Jika gejala tertentu diikuti oleh
gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu
tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman
hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita
urutan sebab-akibat. Yang disebut
kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti
lebih dari "probable" (berpeluang).
Maka Hume menolak kausalitas,
sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu
sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.
Hukum alam adalah hukum alam.
Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau
"sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan,
yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau
perasaan kita saja.
Hume merupakan pelopor para
empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari
indera. Menurut Hume ada batasan-batasan
yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera
kita.
Dengan kritisisme
Imanuel Kant (1724-1804) mencoba
mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh.
Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita,
namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita
memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume
bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu
sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti
tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang
memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah
ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan
indera kita. Ruang dan waktu adalah cara
pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah
dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang
tak terpatahkan. Ini bentuk
pengetahuan.
Demikian Kant membuat kritik atas
seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi
aneka aliran filsafat masa kini.
Filsafat zaman modern berfokus
pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad
pertengahan). Dalam zaman modern ada
periode yang disebut Renaissance
("kelahiran kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi
dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari
sana. Filsuf penting adalah N
Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535)
dan Francis Bacon (1561-1626).
Periode kedua adalah zaman Barok, yang menekankan akal
budi. Sistem filsafatnya juga
menggunakan menggunakan matematika. Para filsuf periode ini adalah Rene
Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1710). Periode ketiga ditandai dengan fajar budi
("enlightenment" atau "Aufklarung"). Para filsuf katagori ini adalah John Locke
(1632-1704), G Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776). Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant.
Masa kini
(1800-sekarang).
Filsafat masa kini merupakan
aneka bentuk reaksi langsung atau taklangsung atas pemikiran Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel ingin
menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya berdasarkan suatu prinsip. Menurut Hegel semua yang ada dan semua
kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan
bersifat rohani. Namun celakanya, Yang
Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul
mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh
sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme
yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang sering
sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"), namun
adalah materi belaka. Maksudnya, yang
sesungguhnya ada adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal segala
sesuatu dan segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus dikesampingkan. Maka seluruh realitas hanya dapat dibuat
jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang dicetuskan oleh Ludwig
Andreas Feuerbach (1804-1872). Sayangnya, materi itu sendiri tidak bisa menjadi
mutlak, karena pastilah ada yang-ada-di-luar-materi yang "mengendalikan"
proses dalam materi itu untuk materi bisa
menjadi-lebih-sempurna-dari-sebelumnya.
Kesalahan Hegel adalah tidak
menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya, dalam
arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi tersebut. Dengan mengatakan Yang Mutak itu menjadi,
Hegel pada dasarnya meniadakan kemutlakan.
Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang mutlak itu materi, maka
materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama. Dari sini dapat difahami
munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini:
Positivisme
menyatakan bahwa pemikiran tiap
manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis
dan positif ilmiah. Manusia muda atau
suku-suku primitif pada tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk
"menerangkan" kenyataan.
Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan
metafisis. Pada tahap dewasa dan matang
digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart
Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi
neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
Marxisme
(diberi nama mengikuti tokoh
utama Karl Marx, 1818-1883) mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas
materi belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme
tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya
pada tahap awal). Feuerbach berpendapat
Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah
sarana manusia memproyeksikan cita-cita (belum terwujud!) manusia tentang
dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, yang
ada bukan Tuhan yang mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin
menjadi adil. Dari sini dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama
adalah candu bagi rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam
"surga fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya
pahit. Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi
atas perkembangan masyarakat dan sejarah. Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk
mengarahkan perubahan dan untuk itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif
mengenai perkembangan masyarakat.
Ditangan Friedrich Engels
(1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran filsafat
Marxisme ini menjadi gerakan komunisme,
yaitu suatu ideologi politik praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk
merubah dunia. Sangat nyata bahwa dimana
saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya mengingkari
hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan tak ber
keTuhanan pula!).
Eksistensialime
merupakan himpunan aneka
pemikiran yang memiliki inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus
berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat
(esensi) manusia-pada-umumnya.
Manusia-pada-umumnya tidak ada, yang ada hanya manusia ini, manusia itu.
Esensi manusia ditentukan oleh eksistensinya. Tokoh aliran ini J P Sartre
(1905-1980), Kierkegaard (1813-1855), Friederich Nietzche (1844-1900), Karl Jaspers
(1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973).
Fenomenologi
merupakan aliran (tokoh penting:
Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui
argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum. "Zuruck zu den sachen selbst" --
kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang
dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek
memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima.
Kalau kita "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek
itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati,
maka obyek itu "berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita
memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi banyak diterapkan
dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya
kajian atas kitab suci).
Pragmatisme
tidak menanyakan "apakah
itu?", melainkan "apakah gunanya itu?" atau "untuk apakah
itu?". Yang dipersoalkan bukan
"benar atau salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan
tertentu. Tokoh aliran ini: John Dewey
(1859-1914).
Neo-kantisme dan neo-thomisme
merupakan aliran-aliran yang
merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama, oleh dialog dengan aliran
lain.
Analitik
menyibukkan diri dengan analisis
bahasa dan analisis atas konsep-konsep. Dalam berfilsafat, jangan katakan jika
hal itu tidak dapat dikatakan. "Batas-batas bahasaku adalah batas-batas
duniaku". Soal-soal falsafi seyogyanya
dipecahkan melalui analisis atas bahasa, untuk mendapatkan atau tidak
mendapatkan makna dibalik bahasa yang digunakan. Hanya dalam ilmu pengetahuan
alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu bersifat faktual. Tokoh
pencetus: Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Strukturalisme
Akhirnya sejak 1960 berkembang
yang menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa,
agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.