FILSAFAT,
SEPOTONG ROTI DAN PRESTASI MATEMATIKA
Pengantar
Filsafat, apakah filsafat itu?
Apakah dengan berfilsafat orang bisa
mencapai apa yang diinginkanya? Misalnya bagi seorang guru apakah filsafat
dapat membuat anak didiknya memperoleh nilai 10 dalam matematika? Kattsoff
(2004:3) mengatakan bahwa filsafat “tidak membuat roti”, filsafat tidak memberi
petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Filsafat tidak
bisa secara langsung dapat memenuhi harapan-harapan tersebut, namun dengan
mempelajari filsafat diharapkan dapat memahami segala sesuatu secara baik,
secara proposional, pengetahuan semakin bertambah, dapat berpikir secara arif
dan bijaksana, yang pada akhirnya menuntun kita untuk bertindak dengan lebih
baik.
Secara sederhana tujuan filsafat
ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan mengatur semua itu
dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa manusia pada pemahaman dan
pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih baik, (Kattsoff, 2004: 3).
- Plato (427 SM – 347 SM), filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
- Aristoteles (381 SM – 322 SM), filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
- Immanuel Kant (1724 M – 1804 M), mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu:
Apakah
yang dapat kita ketahui? Pertanyaan ini dijawab oleh Metafisika
Apakah
yang boleh kita kerjakan? Pertanyaan ini dijawab oleh Etika
Sampai
dimanakah pengharapan kita? Pertanyaan ini dijawab oleh Agama
Apakah
Manusia itu? Pertanyaan ini dijawab oleh Antropologi
Filsafat merupakan suatu analisa
secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran suatu masalah dan penyusunan
secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandangan yang menjadi dasar
suatu tindakan, (Kattsoff, 2003: 4). Selanjutnya ia menamakan kegiatan filsafat
itu sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran.
Namun tidak semua kegiatan
perenungan dan pemikiran bisa dikatakan filsafat, Kattsoff mengatakan
‘perenungan kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem
pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami dunia maupun untuk
memahami diri kita sendiri.
Lebih lanjut Kattsoff mengemukakan ciri-ciri
pikiran kefilsafatan, yaitu:
1. Sebuah
sistem filsafat harus bersifat koheren
Secara singkat
pengertian koheren adalah runtut. Suatu perenungan filsafat tidak boleh
mengandung pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan.
2. Filsafat
merupakan pemikiran secara rasional
Bagian-bagian yang satu
dengan yang lain saling berhubungan secara logis.
3. Filsafat
senantiasa bersifat menyeluruh (komprehensif)
Ilmu memberi penjelasan
tentang kenyataan empiris yang dialami, filsafat berusaha untuk memperoleh
penjelasan mengenai ilmu itu sendiri.
Suatu sistem filsafat
harus bersifat komprehensif dalam arti tidak ada sesuatupun yang berada di luar
jangkauanya.
Perenungan kefilsafatan tidak
berusaha menemukan fakta-fakta, filsafat menerimanya dari mereka yang
menemukannya. Filsafat selalu menunjuk fakta-fakta untuk menguji apakah
penjelasannya sudah memadai atau belum. Filsafat membicarakan fakta-fakta
dengan dua cara (Kattsoff, 2003: 13-14), yaitu:
- Filsafat mengajukan kritik atas makna yang dikandung fakta-fakta
- Filsafat menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum dari fakta-fakta.
Ilmu dan Filsafat
Bertrand Russel dalam Kattsoff (2003:
85) mengatakan, “seseorang tidak mesti menjadi seorang filsuf yang baik dengan
jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak,melainkan asas-asas serta metode-metode dan
pengertian-pengertian yang umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu jika ia
tertarik kepada filsafat”
Seperti telah disampaikan di awal
pembahasan bahwa dengan filsafat diharapkan pencarian manusia tentang diri
sendiri dan apa yang ada di alam sekitarnya (mencakup ilmu) akan menjadi lebih
baik dari masa-ke masa. Ilmu dalam usahanya menyingkapkan rahasia alam harus
mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut, (Kattsofff, 2003: 103).
Aliran-Aliran Filsafat
Selanjutnya dalam perkembangan filsafat
dari waktu ke waktu saling menyempurnakan antara satu corak pemikiran dengan
corak pemikiran yang lainnya. Corak pemikiran yang datang belakangan biasanya
merupakan anti tesis dari corak pemikiran sebelumnya, dan selanjutnya
menyempurnakannya. Maka dikenalah berbagai aliran filsafat baik secara ontologi
maupun secara epistimologinya sesuai dengan filsuf yang memikirkannya.
Keanekaan aliran filsafat itu
dimungkinkan karena dalam adanya perbedaan dalam esesnsi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berikut ; Apakah yang diketahui oleh akal manusia? Dari
manakah ilmu pengetahuan diperoleh? Apakah kemampuan manusia terbatas dalam fakta pengalaman
indera atau manusia dapat mengetahui yang lebih jauh daripada apa yang dapat
diungkapkan oleh indera?
Istilah yang digunakan untuk nama teori
pengetahuan adalah epistimologi, yang berasal dari kata Yunani epistemi
(pengetahuan) dan logy yang berarti teori, (Juhaya, 2010: 87).
Selannjutnya ia mengatakan terdapat tiga
persoalan dalam bidang ini, yaitu:
1. Apakah
sumber pengetahuan itu? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang dan
bagaimana kita dapat mengetahui?
2. Apakah
watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal dan kalau ada
dapatkah kita mengetahuinya?
3. Apakah
pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran
dan kekeliruan?
Di bawah ini akan disajikan beberapa
aliran filsafat yang dianggap populer pada jamannya. Dengan mempelajari
aliran-aliran tersebut diharapkan akan menambah wawasan kita tentang filsafat
dan bisa mentranfer pola pikir filsafat tersebut ke dalam bidang ilmu
pengetahuan yang kita geluti khususnya dalam bidang pendidikan yang pada
akhirnya kita bisa menjadi pendidik yang baik, yang berkualitas yang nisa
melahirkan generasi yang berilmu dan berakhlak serta beriman.
1.
Rasionalisme
Rene Descartes
Disebut
rasionalisme karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat
ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa
menghiraukan realitas di luar rasio.
Rene Descartes
(31 Maret 1596 - 11 Februari 1650) adalah sorang filsuf Perancis,
matematikawan, fisikawan dan penulis. Dia dijuluki “Bapak Filsafat Modern”
karena ia berperan besar dalam membangun sistem pertama filsafat modern. Selain
itu dia juga dinobatkan sebagai bapak geometri analitis karena sumbangannya
yang penting terhadap ilmu aljabar dan karena penemuannya tentang sistem
kordinat Cartesius. Descartes adalah seorang tokoh besar pada abad ke-17
sebagai seorang filsuf rasionalisme.
Pokok pemikiran
Descartes adalah bahwa akal merupakan satu-satunya jalan menuju pengetahuan.
Dia menolak semua pemikiran yang bisa diragukan, lalu dia membangun kembali
pemikiran itu untuk mendapatkan dasar yang kuat untuk pengetahuan yang murni.
Pada awalnya, Descartes sampai pada satu prinsip dasar, yaitu berpikir ada.
Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia pun ada. Ungkapan ini
lebih dikenal dengan cogito ergo sum yang dalam bahasa Inggris adalah i
think therefore i am atau “aku berpikir,maka aku ada” dalam bahasa
Indonesia. Descartes menyimpulkan jika dia ragu lalu seseorang atau sesuatu
diharuskan untuk ragu, sehingga faktanya adalah keraguannya membuktikan
keberadaannya. Dia merasakan tubuhnya melalui indera,namun indera tersebut
tidak bisa dipercaya. Menurutnya, berpikir adalah satu-satunya hal yang tidak
bisa diragukan. Sedangkan indera adalah hal yang menurutnya tidak pasti dan
menipu.
Uraian Descartes
tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate) menurutnya harus memperhatikan empat hal (dalam Juhaya,
2010:95-96), sebagai berikut:
1. Tidak
menerima sesuatupun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu
sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang
mampu merobohkannya.
2. Pecahkan
setiap kesulitan atau masalah itu menjadi sebanyak mungkin bagian sehingga
tidak ada keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah
pikiran dengan teratur dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah
diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam
proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan
yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita
menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam
penjelajahan itu.
Filsafat
Descartes selajutnya mendapat kritik dari beberapa filsuf lainnya, diantaranya
adalah kecenderungannya yang sangat kuat terhadap subjektivitas, setiap orang
memiliki kecenderungan, karakteristik dan kapasitas berpikir yang berbeda-beda.
Honer dan Hunt
dalam (Juhaya, 2010: 101) mengkritik rasionalisme dari segi kegagalanya
menjelaskan perubahan dan pertumbuhan pengetahuan manusia. Banyak ide yang
sudah dianggap pasti namun pada suatu saat mengalami perubahan.
2.
Empirisme
Empirisme adalah
suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari
bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu
doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal,
melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata,
lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu
yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Tokoh filsuf
empirisme diantaranya adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632 –
1704), George Berkeley (1665 – 1753), dan David Hume (1711 – 1716).
Hobbes
beraggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan, ia tidak
menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi ruhani.
Menurutnya seluruh dunia termasuk manusia merupakan suatu proses yang
berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja.
Filsafat Hobbes
mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang “yang ada”
secara mekanis, (Juhaya, 2010: 106-107)
Menurut Locke
rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan seluruh isinya
berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah
yang menghasilkan ide-ide tunggal. Menurutnya ruh manusia bersifat pasif dalam menerima ide-ide, namun ruh juga
mempunyai aktivitas, dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu bangunan
ruh manusia dapat membentuk ide majemuk.
Berkeley
mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip
empirisme. Ia berpendapat bahwa tidak ada substansi-substansi material, yang
ada hanyalah pengalaman dalam ruh saja.
Empirisme
berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis
dengan cara paling radikal. Ia tidak menerima substansi sebab yang dialami
ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama.
Tetapi atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang
ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap, (Juhaya, 2010: 111 - 112).
3.
Kritisme
Immanuel Kant
Tokoh utama
aliran ini adalah Immanuel Kant, Immanuel Kant (22 April 1724 - 12 Februari
1804) adalah seorang filsuf asal Jerman pada abad ke-18. Kant menciptakan
sebuah perspektif baru dalam filsafat yang berpengaruh luas pada filsafat terus
berlanjut sampai ke abad ke 21.
Tujuan utama
dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami
realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan
tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori,
yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan
teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan
hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum
moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Kant membedakan
jenis-jenis putusan menjadi dua jenis yang selama ini diterima umum. Kedua
jenis putusan itu adalah (1) putusan analitis, dan (2) putusan sintetis. Pada
putusan analitis, predikat sudah terkandung dalam subjek. Di sini predikat
dalam putusan adalah analisis atas subjek, karena itu tidak ada unsur baru
dalam putusan itu. Sifat putusan analitis adalah apriori murni, disebut juga
pengetahuan murni. Disebut demikian karena konsep-konsep yang membangun
pengetahuan tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan berasal dari
struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri (kosong dari pengaman empiris).
Sementara dalam putusan sintetis, predikat tidak terkandung dalam subjek.
Predikat memberikan informasi baru yang sifatnya aposteriori. Jenis putusan
sintetis adalah aposteriori. Ilmu alam memiliki karakter putusan sintetis ini.
Ada jenis pengetahuan
lain yang tidak bersifat apriori murni tetapi juga bukan sintetis aposteriori.
Jenis putusan ketiga inilah yang diusulkan dan menjadi sumbangan terbesar
Immanuel Kant, yakni putusan sintetis apriori. Menurut Kant, selalu ada dua
unsur dalam setiap penampakan objek, yakni unsur materi (materia) dan unsur
bentuk (forma). Unsur materi selalu berhubungan dengan isi pengindraan,
sementara unsur bentuk memungkinkan berbagai penampakan tersusun dalam
hubungan-hubungan tertentu. Di sini forma atau bentuk merupakan unsur apriori
dari pengindraan sementara materi merupakan unsur aposteriori. Dalam setiap
pengindraan, selalu beroperasi dua kategori ini dalam rasio manusia, yakni
forma ruang (raum) dan forma waktu (Zeit). Kant menunjukkan adanya sintesis jenis
pengetahuan rasionalisme dan pengetahuan empirisme. Sehingga dalam pemikiran
Kant jelas diperlihatkan bagaimana unsur jenis pengetahuan analitis apriori
(rasionalisme) dan sintetis aposteriori (empirisme) dapat didamaikan. Bagi
Kant, putusan-putusan yang adalah pengetahuan tidak lain adalah sintesis antara
aspek aposteriori (benda yang menampakan diri dan yang sudah melalui proses
pengindraan internal) dengan aspek apriori.
Kritisme Kant
dapat dianggap sebagai usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dan
empirisme, ia menyampaikan ciri-ciri kritisme dalam tiga hal (Juhaya, 2010:
114), yaitu:
a. Menganggap
bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek bukan pada objek.
b. Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakekat
sesuatu, rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
c. Menjelaskan
bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan unsur
Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan
peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Menurut Kant,
dalam (Juhaya, 2010: 116) agar orang dapat bersifat objektif dalam dunia ilmu
pengetahuan maka orang harus menghindari dari sifat sepihak rasionalisme dan
sifat sepihak empirisme. Selanjunya Kant menyatakan dua syarat dasar bagi
segala ilmu pengetahuan, yaitu; a). Bersifat umum dan mutlak dan b). Memberi
pengetahuan yang baru.
Sebuah Refleksi
Dari paparan ketiga aliran tersebut
dapat dilhat bahwa pencarian manusia akan jati diri dan ilmu pengetahuan
senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, masing-masing aliran memiliki
kelebihan dan kekurangan. Namun yang menarik ternyata metode pencarian
kebenaran dan ilmu pengetahuan tersebut semakin hari semakin berkembang ke arah
kesempurnaan.
Yang menarik bagi penulis adalah
hasil akhir bukan segala-galanya namun yang terpenting adalah proses untuk
memperoleh hasil akhir tersebut. Seperti telah disampaikan di awal bahwa
filsafat “tidak membuat roti”, namun filsafat menyediakan resep membuat roti
yang baik. Demikian juga halnya filsafat “tidak membuat siswa mendapat nilai 10
dalam matematika”, namun filsafat mengarahkan guru untuk dapat memandang
siswanya sebagai individu yang utuh yang harus diperlakukan pula sebagai insan
yang utuh, filsafat menjadi petunjuk bahwa ilmu pengetahuan itu harus dibangun
dengan cara-cara yang benar, bukan dipindahkan dari kepala guru ke kepala siswa.
Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat, amiiin.
Daftar
Pustaka
Juhaya
S. Praja, Prof. Dr., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2010
Kattsoff.
O Louis, Element of Philosophy, alih
bahasa oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar