Minggu, 30 September 2012

Filsafat, Sepotong Roti dan Prestasi Matematika


FILSAFAT, SEPOTONG ROTI DAN PRESTASI MATEMATIKA
Pengantar
            Filsafat, apakah filsafat itu? Apakah  dengan berfilsafat orang bisa mencapai apa yang diinginkanya? Misalnya bagi seorang guru apakah filsafat dapat membuat anak didiknya memperoleh nilai 10 dalam matematika? Kattsoff (2004:3) mengatakan bahwa filsafat “tidak membuat roti”, filsafat tidak memberi petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Filsafat tidak bisa secara langsung dapat memenuhi harapan-harapan tersebut, namun dengan mempelajari filsafat diharapkan dapat memahami segala sesuatu secara baik, secara proposional, pengetahuan semakin bertambah, dapat berpikir secara arif dan bijaksana, yang pada akhirnya menuntun kita untuk bertindak dengan lebih baik.
            Secara sederhana tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan mengatur semua itu dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa manusia pada pemahaman dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih baik, (Kattsoff, 2004: 3).
           
Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian atau batasan, (Juhaya, 2008: 2). Beberapa definisi filsafat tersebut:
  •  Plato (427 SM – 347 SM), filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
  •  Aristoteles (381 SM – 322 SM), filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
  •  Immanuel Kant (1724 M – 1804 M), mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu:
Apakah yang dapat kita ketahui? Pertanyaan ini dijawab oleh Metafisika
Apakah yang boleh kita kerjakan? Pertanyaan ini dijawab oleh Etika
Sampai dimanakah pengharapan kita? Pertanyaan ini dijawab oleh Agama
Apakah Manusia itu? Pertanyaan ini dijawab oleh Antropologi
            Filsafat merupakan suatu analisa secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran suatu masalah dan penyusunan secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan, (Kattsoff, 2003: 4). Selanjutnya ia menamakan kegiatan filsafat itu sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran.
            Namun tidak semua kegiatan perenungan dan pemikiran bisa dikatakan filsafat, Kattsoff mengatakan ‘perenungan kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami dunia maupun untuk memahami diri kita sendiri.
             Lebih lanjut Kattsoff mengemukakan ciri-ciri pikiran kefilsafatan, yaitu:
1.      Sebuah sistem filsafat harus bersifat koheren
Secara singkat pengertian koheren adalah runtut. Suatu perenungan filsafat tidak boleh mengandung pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan.
2.      Filsafat merupakan pemikiran secara rasional
Bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berhubungan secara logis.
3.      Filsafat senantiasa bersifat menyeluruh (komprehensif)
Ilmu memberi penjelasan tentang kenyataan empiris yang dialami, filsafat berusaha untuk memperoleh penjelasan mengenai ilmu itu sendiri.
Suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif dalam arti tidak ada sesuatupun yang berada di luar jangkauanya.

Perenungan kefilsafatan tidak berusaha menemukan fakta-fakta, filsafat menerimanya dari mereka yang menemukannya. Filsafat selalu menunjuk fakta-fakta untuk menguji apakah penjelasannya sudah memadai atau belum. Filsafat membicarakan fakta-fakta dengan dua cara (Kattsoff, 2003: 13-14), yaitu:
  1.   Filsafat mengajukan kritik atas makna yang dikandung fakta-fakta
  2.   Filsafat menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum dari fakta-fakta.

Ilmu dan Filsafat
Bertrand Russel dalam Kattsoff (2003: 85) mengatakan, “seseorang tidak mesti menjadi seorang filsuf yang baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak,melainkan  asas-asas serta metode-metode dan pengertian-pengertian yang umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu jika ia tertarik kepada filsafat”
Seperti telah disampaikan di awal pembahasan bahwa dengan filsafat diharapkan pencarian manusia tentang diri sendiri dan apa yang ada di alam sekitarnya (mencakup ilmu) akan menjadi lebih baik dari masa-ke masa. Ilmu dalam usahanya menyingkapkan rahasia alam harus mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut, (Kattsofff, 2003: 103).

Aliran-Aliran Filsafat
Selanjutnya dalam perkembangan filsafat dari waktu ke waktu saling menyempurnakan antara satu corak pemikiran dengan corak pemikiran yang lainnya. Corak pemikiran yang datang belakangan biasanya merupakan anti tesis dari corak pemikiran sebelumnya, dan selanjutnya menyempurnakannya. Maka dikenalah berbagai aliran filsafat baik secara ontologi maupun secara epistimologinya sesuai dengan filsuf yang memikirkannya.
Keanekaan aliran filsafat itu dimungkinkan karena dalam adanya perbedaan dalam esesnsi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ; Apakah yang diketahui oleh akal manusia? Dari manakah ilmu pengetahuan diperoleh? Apakah kemampuan  manusia terbatas dalam fakta pengalaman indera atau manusia dapat mengetahui yang lebih jauh daripada apa yang dapat diungkapkan oleh indera?
Istilah yang digunakan untuk nama teori pengetahuan adalah epistimologi, yang berasal dari kata Yunani epistemi (pengetahuan) dan logy yang berarti teori, (Juhaya, 2010: 87).
Selannjutnya ia mengatakan terdapat tiga persoalan dalam bidang ini, yaitu:
1.      Apakah sumber pengetahuan itu? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita dapat mengetahui?
2.      Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengetahuinya?
3.      Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan?
Di bawah ini akan disajikan beberapa aliran filsafat yang dianggap populer pada jamannya. Dengan mempelajari aliran-aliran tersebut diharapkan akan menambah wawasan kita tentang filsafat dan bisa mentranfer pola pikir filsafat tersebut ke dalam bidang ilmu pengetahuan yang kita geluti khususnya dalam bidang pendidikan yang pada akhirnya kita bisa menjadi pendidik yang baik, yang berkualitas yang nisa melahirkan generasi yang berilmu dan berakhlak serta beriman.
1.                  Rasionalisme Rene Descartes
Disebut rasionalisme karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio.
Rene Descartes (31 Maret 1596 - 11 Februari 1650) adalah sorang filsuf Perancis, matematikawan, fisikawan dan penulis. Dia dijuluki “Bapak Filsafat Modern” karena ia berperan besar dalam membangun sistem pertama filsafat modern. Selain itu dia juga dinobatkan sebagai bapak geometri analitis karena sumbangannya yang penting terhadap ilmu aljabar dan karena penemuannya tentang sistem kordinat Cartesius. Descartes adalah seorang tokoh besar pada abad ke-17 sebagai seorang filsuf rasionalisme.
Pokok pemikiran Descartes adalah bahwa akal merupakan satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Dia menolak semua pemikiran yang bisa diragukan, lalu dia membangun kembali pemikiran itu untuk mendapatkan dasar yang kuat untuk pengetahuan yang murni. Pada awalnya, Descartes sampai pada satu prinsip dasar, yaitu berpikir ada. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia pun ada. Ungkapan ini lebih dikenal dengan cogito ergo sum yang dalam bahasa Inggris adalah i think therefore i am atau “aku berpikir,maka aku ada” dalam bahasa Indonesia. Descartes menyimpulkan jika dia ragu lalu seseorang atau sesuatu diharuskan untuk ragu, sehingga faktanya adalah keraguannya membuktikan keberadaannya. Dia merasakan tubuhnya melalui indera,namun indera tersebut tidak bisa dipercaya. Menurutnya, berpikir adalah satu-satunya hal yang tidak bisa diragukan. Sedangkan indera adalah hal yang menurutnya tidak pasti dan menipu.
Uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate) menurutnya harus memperhatikan empat hal (dalam Juhaya, 2010:95-96), sebagai berikut:
1.      Tidak menerima sesuatupun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.      Pecahkan setiap kesulitan atau masalah itu menjadi sebanyak mungkin bagian sehingga tidak ada keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.      Bimbinglah pikiran dengan teratur dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.      Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Filsafat Descartes selajutnya mendapat kritik dari beberapa filsuf lainnya, diantaranya adalah kecenderungannya yang sangat kuat terhadap subjektivitas, setiap orang memiliki kecenderungan, karakteristik dan kapasitas berpikir yang berbeda-beda.
Honer dan Hunt dalam (Juhaya, 2010: 101) mengkritik rasionalisme dari segi kegagalanya menjelaskan perubahan dan pertumbuhan pengetahuan manusia. Banyak ide yang sudah dianggap pasti namun pada suatu saat mengalami perubahan.
2.                  Empirisme
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Tokoh filsuf empirisme diantaranya adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1665 – 1753), dan David Hume (1711 – 1716).
Hobbes beraggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan, ia tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi ruhani. Menurutnya seluruh dunia termasuk manusia merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja.
Filsafat Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang “yang ada” secara mekanis, (Juhaya, 2010: 106-107)
Menurut Locke rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menghasilkan ide-ide tunggal. Menurutnya ruh manusia bersifat pasif  dalam menerima ide-ide, namun ruh juga mempunyai aktivitas, dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu bangunan ruh manusia dapat membentuk ide majemuk.
Berkeley mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia berpendapat bahwa tidak ada substansi-substansi material, yang ada hanyalah pengalaman dalam ruh saja.
Empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara paling radikal. Ia tidak menerima substansi sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama. Tetapi atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap, (Juhaya, 2010: 111 - 112).

3.                  Kritisme Immanuel Kant
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant, Immanuel Kant (22 April 1724 - 12 Februari 1804) adalah seorang filsuf asal Jerman pada abad ke-18. Kant menciptakan sebuah perspektif baru dalam filsafat yang berpengaruh luas pada filsafat terus berlanjut sampai ke abad ke 21.
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Kant membedakan jenis-jenis putusan menjadi dua jenis yang selama ini diterima umum. Kedua jenis putusan itu adalah (1) putusan analitis, dan (2) putusan sintetis. Pada putusan analitis, predikat sudah terkandung dalam subjek. Di sini predikat dalam putusan adalah analisis atas subjek, karena itu tidak ada unsur baru dalam putusan itu. Sifat putusan analitis adalah apriori murni, disebut juga pengetahuan murni. Disebut demikian karena konsep-konsep yang membangun pengetahuan tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan berasal dari struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri (kosong dari pengaman empiris). Sementara dalam putusan sintetis, predikat tidak terkandung dalam subjek. Predikat memberikan informasi baru yang sifatnya aposteriori. Jenis putusan sintetis adalah aposteriori. Ilmu alam memiliki karakter putusan sintetis ini.
Ada jenis pengetahuan lain yang tidak bersifat apriori murni tetapi juga bukan sintetis aposteriori. Jenis putusan ketiga inilah yang diusulkan dan menjadi sumbangan terbesar Immanuel Kant, yakni putusan sintetis apriori. Menurut Kant, selalu ada dua unsur dalam setiap penampakan objek, yakni unsur materi (materia) dan unsur bentuk (forma). Unsur materi selalu berhubungan dengan isi pengindraan, sementara unsur bentuk memungkinkan berbagai penampakan tersusun dalam hubungan-hubungan tertentu. Di sini forma atau bentuk merupakan unsur apriori dari pengindraan sementara materi merupakan unsur aposteriori. Dalam setiap pengindraan, selalu beroperasi dua kategori ini dalam rasio manusia, yakni forma ruang (raum) dan forma waktu (Zeit). Kant menunjukkan adanya sintesis jenis pengetahuan rasionalisme dan pengetahuan empirisme. Sehingga dalam pemikiran Kant jelas diperlihatkan bagaimana unsur jenis pengetahuan analitis apriori (rasionalisme) dan sintetis aposteriori (empirisme) dapat didamaikan. Bagi Kant, putusan-putusan yang adalah pengetahuan tidak lain adalah sintesis antara aspek aposteriori (benda yang menampakan diri dan yang sudah melalui proses pengindraan internal) dengan aspek apriori.
Kritisme Kant dapat dianggap sebagai usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dan empirisme, ia menyampaikan ciri-ciri kritisme dalam tiga hal (Juhaya, 2010: 114), yaitu:
a.       Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek bukan pada objek.
b.      Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakekat sesuatu, rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
c.       Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Menurut Kant, dalam (Juhaya, 2010: 116) agar orang dapat bersifat objektif dalam dunia ilmu pengetahuan maka orang harus menghindari dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Selanjunya Kant menyatakan dua syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan, yaitu; a). Bersifat umum dan mutlak dan b). Memberi pengetahuan yang baru.

Sebuah Refleksi
            Dari paparan ketiga aliran tersebut dapat dilhat bahwa pencarian manusia akan jati diri dan ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, masing-masing aliran memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun yang menarik ternyata metode pencarian kebenaran dan ilmu pengetahuan tersebut semakin hari semakin berkembang ke arah kesempurnaan.
            Yang menarik bagi penulis adalah hasil akhir bukan segala-galanya namun yang terpenting adalah proses untuk memperoleh hasil akhir tersebut. Seperti telah disampaikan di awal bahwa filsafat “tidak membuat roti”, namun filsafat menyediakan resep membuat roti yang baik. Demikian juga halnya filsafat “tidak membuat siswa mendapat nilai 10 dalam matematika”, namun filsafat mengarahkan guru untuk dapat memandang siswanya sebagai individu yang utuh yang harus diperlakukan pula sebagai insan yang utuh, filsafat menjadi petunjuk bahwa ilmu pengetahuan itu harus dibangun dengan cara-cara yang benar, bukan dipindahkan dari kepala guru ke kepala siswa. Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat, amiiin.



Daftar Pustaka
Juhaya S. Praja, Prof. Dr., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010
Kattsoff. O Louis, Element of Philosophy, alih bahasa oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar