PENDAHULUAN
Manusia
dalam mencari ilmu pengetahuan menggunakan berbagai cara, ada yang menggunakan
cara-cara yang terstruktur dengan rapi, secara sadar, sistematis, menggunakan
prosedur-prosedur yang jelas dan diuji kebenarannya dengan cara-cara ilmiah. Ada
pula yang menggunakan cara yang tidak terstruktur, bersifat acak, tidak
menggunakan prosedur yang jelas serta tidak diuji kebenarannya secara ilmiah.
Dalam perkembangannya pemerolehan ilmu pengetahuan semakin mengerucut
menggunakan cara-cara yang semakin terstruktur dengan baik. Diawali dengan
kajian-kajian yang dilakukan oleh para filsuf pada jamannya masing-masing, yang
memilki aliran pemikiran yang khas, yang saling melengkapi dan menyempurnakan
satu sama lainnya.
Pemikiran
yang kritis dan cermat dari para filsuf sangat berperan pada perkembangan ilmu
pengetahuan, memang filsafat tidak bisa membuat “HP yang mutakhir”, filsafat
tidak membuat “Sepotong Roti”, atau filsafat tidak membuat “Model pembelajaran
yang Baik”. Tujuan filsafat ialah mengumpulkan ilmu pengetahuan manusia
sebanyak mungkin, menyusunnya dan mengatur semua itu dalam bentuk yang
sistematis. Filsafat membawa kita pada pemahaman, dan pemahaman membawa kita
kepada tindakan yang lebih layak, (Kattsoff, 2004: 3).
Untuk
mewujudkan harapan tersebut tentunya guru harus mumpuni, harus bekerja dengan
profesional, menguasai bebagai ilmu yang berhubungan dengan pembelajaran, ilmu
tentang perkembangan siswa, ilmu bidang yang dihadapinya, menguasai berbagai
pendekatan, model, serta berbagai metoda pembelajaran. Yang tidak kalah penting
harus dapat menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan bukan sebagai objek.
Siswa harus diberi ruang dan kesempatan yang banyak untuk membangun khasanah
keilmuannya dengan cara yang ilmiah. logis, serta sesuai dengan perkembangan
psikologis dan kognisinya.
Guru
dapat meramu “sajian pembelajaran” untuk siswanya dengan cara memilih atau
memadukan berbagai gagasan, pandangan para filsuf atau biasa disebut aliran filsafat.
Pemilihan aliran filsafat yang sesuai digabungkan dengan keterampilan
pembelajaran yang lainnya diharapkan dapat menjadikan pembelajaran menarik,
menggairahkan, serta dapat menggugah selera intelektualitas siswa, sehingga
siswa dapat merasakan kelezatan pembelajaran dan timbul rasa ketagihan untuk
belajar dan belajar lagi.
Berdasarkan
pandangan-pandangan di atas penulis akan mencoba membuat “Resep Pembelajaran
Matematika” yang dapat menggugah hasrat siswa untuk belajar. Mudah-mudahan
tulisan ini dapat menjadi ilham atau inspirasi bagi pelaku pendidikan yang
kompeten untuk membuat sistem pendidik yang lebih baik yang pada gilirannya
dapat meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita, sehingga dapat
menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas, amiii....n.
KAJIAN TEORI
A.
Ilmu
dan Filsafat
Telah
banyak orang yang mencoba membuat definisi tentang filsafat dan banyak pula
yang telah mencoba membatasi aliran-aliran dan ruang lingkup filsafat. Selama
sejarah peradaban Barat, filsafat dipandang meliputi setiap hal, mulai dari
sikap pribadi orang terhadap dunia disekitarnya sampai dengan seluruh jumlah
pengetahuan manusia. Aristoteles contohnya telah menulis tentang metafisika,
etika, politik, biologi, fisika, bahasa dan masih banyak lagi. Dewasa ini ada
yang hendak membatasi ruang lingkup filsafat agar hanya berkisar pada
pertanyaan-pertanyaan tentang logika dan sintaksis, Kattsoff (2004: 63)
Filsafat
merupakan perjuangan yang berlangsung terus menerus untuk menyesuaikan yang
lama dengan yang baru di dalam suatu kebudayaan dan peradaban manusia. Bagi
Dewey filsafat ialah suatu percobaan untuk mengadakan penyesuaian terhadap
fakta perubahan kebudayaan. Filsafat adalah hasil yang berasal dari hasrat atau
lebih tepat disebut tuntutan, yang menginginkan bahwa hidup itu haruslah
bermakna, Filsafat melihat ke masa yang lampau tetapi juga melihat ke masa yang
akan datang, Kattsoff (2004: 65).
Bertrand
Russell dalam Kattsoff (2004: 85) mengatakan “seseorang tidak harus menjadi
seorang filsuf yang baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih
banyak; melainkan asa-asas serta metede-metode dan pengertian-pengertian yang
umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu jika ia tertarik pada filsafat.”
Ditinjau dari sudut pandang yang lain, hasil-hasil dari ilmu modern juga
penting bagi seorang filsuf.
Selanjutnya
Kattsoff (2004: 85) mengatakan bahwa perenungan kefilsafatan berusaha menyusun
suatu pandangan dunia yang sistematis. Dengan berbuat demikian berarti pula
sekedar meliputi asas-asas yang sedemikian rupa keadaanya sehingga tidak
bertentangan dengan penemuan-penemuan serta hasil-hasil ilmu yang telah
dikenal.
Ilmu
membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat
penting untuk membangun filsafat. Tiap filsuf dari suatu periode lebih condong
untuk merefleksikan pandangan ilmiah pada periode tersebut. Sementara itu, ilmu
pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangkan
ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah, (Juhaya S.Praja, 2003:
13).
Selanjutnya
menurut Juhaya S. Praja (2003: 13) Filsafat mengambil pengetahuan yang
terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup
yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini kemajuan ilmu pengetahuan
telah mendorong kita untuk menengok kembali ide-ide dan interpretasi kita, baik
itu dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang lain.
Ilmu
dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari
objenya masing-masing. Filsafat mementingkan hubungan-hubungan anatara
fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan,
eksperimen dan pengalaman inderawi, sedangkan filsafat berusaha menghubungkan
penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakekat kebenaran, (Juhaya S.
Praja, 2003: 14).
Dari
kenyataan-kenyataan di atas ternyata antara filsafat dan ilmu hubungannya
sangatlah erat, satu sama lainnya saling melengkapi. Banyak filsuf terkenal
berasal dari ilmuwan, namun banyak pula pemikiran para filsuf besar menjadi
landasan bagi para ilmuwan untuk mengungkap fenomena alam menjadi ilmu
pengetahuan aplikatif. Ilmu pengetahuan memberi inspirasi untuk kajian filsafat
dan sebaliknya cara pemikiran filsuf yang bersifat prosedural, logis dan
sistematis memberikan sumbangan pada kemajuan peradaban dunia sampai sekarang
yang kita rasakan.
B.
Matematika
Matematika
sebagai ilmu lahir seiring dengan
keberadaan manusia, bisa dikatakan matematika merupakan ilmu tertua yang ada di
muka bumi. Banyak kajian matematika yang dilakukan oleh filsuf, namun banyak
pula matematikawan sekaligus juga menjadi seorang filsuf. Filsafat matematika dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat
ilmu, di samping disiplin ilmu seperti filsafat fisika dan filsafat biologi. Namun,
karena pokok permasalahannya, filsafat matematika menempati tempat khusus dalam
filsafat ilmu. Metode investigasi dalam matematika berbeda dari metode-metode
penyelidikan dalam ilmu alam. Pengetahuan Ilmu alam diperoleh dengan
menggunakan metode induktif, pengetahuan matematika tampaknya diperoleh dengan
cara yang berbeda, yaitu, dengan deduksi dari prinsip-prinsip dasar. Teori-teori
ilmu-ilmu alam tampaknya kurang yakin dan lebih terbuka untuk revisi dari teori
matematika.
Matematika
merupakan ilmu deduktif, yang berbeda berbeda dengan ilmu lain. Penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya
yang terdapat di dalam ilmu-ilmu empiris, melainkan didasarkan atas
deduksi-deduksi (penjabaran-penjabaran)
Matematika dapat
dipandang dari beberapa sisi yang berbeda, diantaranya matematika sebagai ilmu
pasti, matematika sebagai ilmu murni, serta matematika sebagai matematika
sekolah. Masing-masing jenis tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda
sesuai dengan pandangan dan latar belakangnya. Yang akan dibicarakan dalam
konteks tulisan ini adalah matematika sekolah.
Matematika
sekolah dimaksudkan sebagai matematika yang diajarkan di sekolah, terutama di
sekolah dasar dan menengah. Tentunya karakter matematika sekolah berbeda dengan
karakter matematika murni, matematika sekolah disesuaikan dengan perkembangan
kognitif dan psikologis siswa. Matematika sekolah relatif bersahabat dengan
siswa, karena matematika sekolah memiliki karakter sebagai kegiatan yaitu; a). Matematika
sebagai kegiatan penelusuran pola, b) matematika sebagai kegiatan pemecahan
masalah, c) matematika sebagai kegiatan komunikasi
Titik berat
matematika sekolah lebih kepada kegiatan yang melibatkan siswa sebagai subjek
pembelajaran, siswa diberi ruang dan kesempatan yang luas untuk mencari dan
mengkonstruk sendiri pengetahuan matematikanya. Dengan pandangan seperti ini
diharapkan siswa terbiasa untuk aktif dalam mencari ilmu, bukan hanya
mendengar, mencatat, menghafal.
Berdasarkan
karakter matematika sekolah di atas ada beberapa aliran filsafat yang kiranya
dapat dijadikan sebagai rujukan untuk membangun matematika sekolah yang lebih
mencerminkan sebagai kegiatan. Pada bagian berikutnya akan dipaparkan beberapa
aliran filsafat secara singkat.
C.
Aliran-Aliran
dalam Filsafat
Dalam perkembangannya filsafat dari
waktu ke waktu saling menyempurnakan antara satu aliran pemikiran dengan aliran
pemikiran yang lainnya. Aliran pemikiran yang datang belakangan biasanya
merupakan anti tesis dari aliran pemikiran sebelumnya, dan selanjutnya
menyempurnakannya. Maka dikenalah berbagai aliran filsafat baik secara ontologi
maupun secara epistimologinya sesuai dengan filsuf yang memikirkannya.
Keanekaan aliran filsafat itu
dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam esensi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berikut ; Apakah yang diketahui oleh akal manusia? Dari
manakah ilmu pengetahuan diperoleh? Apakah kemampuan manusia terbatas dalam fakta pengalaman
indera atau manusia dapat mengetahui yang lebih jauh daripada apa yang dapat
diungkapkan oleh indera?
Istilah yang digunakan untuk nama teori
pengetahuan adalah epistimologi, yang berasal dari kata Yunani epistemi
(pengetahuan) dan logy yang berarti teori, (Juhaya, 2010: 87).
Selannjutnya ia mengatakan terdapat tiga
persoalan dalam bidang ini, yaitu:
1. Apakah
sumber pengetahuan itu? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang dan
bagaimana kita dapat mengetahui?
2. Apakah
watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal dan kalau ada
dapatkah kita mengetahuinya?
3. Apakah
pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran
dan kekeliruan?
Di bawah ini akan disajikan beberapa
aliran filsafat yang dianggap populer pada jamannya. Dengan mempelajari
aliran-aliran tersebut diharapkan akan menambah wawasan kita tentang filsafat
dan bisa mentranfer pola pikir filsafat tersebut ke dalam bidang ilmu
pengetahuan yang kita geluti khususnya dalam bidang pendidikan yang pada
akhirnya kita bisa menjadi pendidik yang baik, yang berkualitas yang nisa
melahirkan generasi yang berilmu dan berakhlak serta beriman.
1.
Rasionalisme
Rene Descartes
Disebut
rasionalisme karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat
ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa
menghiraukan realitas di luar rasio.
Rene Descartes
(31 Maret 1596 - 11 Februari 1650) adalah sorang filsuf Perancis,
matematikawan, fisikawan dan penulis. Dia dijuluki “Bapak Filsafat Modern”
karena ia berperan besar dalam membangun sistem pertama filsafat modern. Selain
itu dia juga dinobatkan sebagai bapak geometri analitis karena sumbangannya
yang penting terhadap ilmu aljabar dan karena penemuannya tentang sistem
kordinat Cartesius. Descartes adalah seorang tokoh besar pada abad ke-17
sebagai seorang filsuf rasionalisme.
Pokok pemikiran
Descartes adalah bahwa akal merupakan satu-satunya jalan menuju pengetahuan.
Dia menolak semua pemikiran yang bisa diragukan, lalu dia membangun kembali
pemikiran itu untuk mendapatkan dasar yang kuat untuk pengetahuan yang murni.
Pada awalnya, Descartes sampai pada satu prinsip dasar, yaitu berpikir ada.
Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia pun ada. Ungkapan ini
lebih dikenal dengan cogito ergo sum yang dalam bahasa Inggris adalah i
think therefore i am atau “aku berpikir,maka aku ada” dalam bahasa
Indonesia. Descartes menyimpulkan jika dia ragu lalu seseorang atau sesuatu
diharuskan untuk ragu, sehingga faktanya adalah keraguannya membuktikan
keberadaannya. Dia merasakan tubuhnya melalui indera,namun indera tersebut
tidak bisa dipercaya. Menurutnya, berpikir adalah satu-satunya hal yang tidak
bisa diragukan. Sedangkan indera adalah hal yang menurutnya tidak pasti dan
menipu.
Uraian Descartes
tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate) menurutnya harus memperhatikan empat hal (dalam Juhaya,
2010:95-96), sebagai berikut:
1. Tidak
menerima sesuatupun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu
sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang
mampu merobohkannya.
2. Pecahkan
setiap kesulitan atau masalah itu menjadi sebanyak mungkin bagian sehingga
tidak ada keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah
pikiran dengan teratur dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah
diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam
proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang
menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang
mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Filsafat
Descartes selajutnya mendapat kritik dari beberapa filsuf lainnya, diantaranya
adalah kecenderungannya yang sangat kuat terhadap subjektivitas, setiap orang
memiliki kecenderungan, karakteristik dan kapasitas berpikir yang berbeda-beda.
Honer dan Hunt
dalam (Juhaya, 2010: 101) mengkritik rasionalisme dari segi kegagalanya
menjelaskan perubahan dan pertumbuhan pengetahuan manusia. Banyak ide yang
sudah dianggap pasti namun pada suatu saat mengalami perubahan.
Barangkali
Spinozalah yang paling tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang
dipikirkan oleh orang yang menganut rasionalisme, (Juhaya,2003: 27). Ia
berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur.
Spinoza mengatakan bahwa dalili-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran
yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya Spinoza menyakini bahwa jika
seseorang memahami makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam
dalili-dalil ilmu ukur, maka ia mau tidak mau tentu akan memahami kebenaran dalil-dalil
tersebut.
2.
Empirisme
Empirisme adalah
suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari
bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu
doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal,
melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah,
telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang
sesuai dengan pengalaman manusia.
Tokoh filsuf
empirisme diantaranya adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632 –
1704), George Berkeley (1665 – 1753), dan David Hume (1711 – 1716).
Hobbes
beraggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan, ia tidak
menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi ruhani.
Menurutnya seluruh dunia termasuk manusia merupakan suatu proses yang
berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja.
Filsafat Hobbes
mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang “yang ada”
secara mekanis, (Juhaya, 2010: 106-107)
Menurut Locke
rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan seluruh isinya
berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah
yang menghasilkan ide-ide tunggal. Menurutnya ruh manusia bersifat pasif dalam menerima ide-ide, namun ruh juga
mempunyai aktivitas, dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu bangunan
ruh manusia dapat membentuk ide majemuk.
Berkeley
mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip
empirisme. Ia berpendapat bahwa tidak ada substansi-substansi material, yang
ada hanyalah pengalaman dalam ruh saja.
Empirisme
berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis
dengan cara paling radikal. Ia tidak menerima substansi sebab yang dialami
ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama.
Tetapi atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang
ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap, (Juhaya, 2010: 111 - 112).
3.
Intuisionisme
Tokoh utama
aliran ini adalah Immanuel Kant, Immanuel Kant (22 April 1724 - 12 Februari
1804) adalah seorang filsuf asal Jerman pada abad ke-18. Kant menciptakan
sebuah perspektif baru dalam filsafat yang berpengaruh luas pada filsafat terus
berlanjut sampai ke abad ke 21.
Pandangan Kant
tentang matematika dapat memberi sumbangan yang berarti ditinjau dari sisi
filsafat matematika terutama tentang peranan intuisi dan konstruksi konsep
matematika. Michael Friedman dalam Marsigit menyebut bahwa apa yang dicapai
Kant telah memberi kedalaman dan ketepatan tentang landasan matematika.
Menurut Kant
dalam Marsigit ‘pemehaman maupun konstruksi matematika diperoleh dengan cara
terlebih dulu menemukan “intusi murni” pada akal atau pikiran kita. Selanjutnya
menurut Marsigit Matematika yang bersifat “sintetik
a priori” dapat dikonstruksi melalui 3 tahap intuisi yaitu “intuisi
penginderaan”, “intuisi akal”, dan “intuisi budi”. Intuisi penginderaan terkait
dengan objek matematika yang dapat dicerap sebagai unsur a posteriori. Intuisi akal (Verstand)
mengsintesiskan hasil intuisi penginderaan ke dalam intuisi “ruang” dan
“waktu”. Dengan intuisi budi “vernuft”, rasio
kita dihadapkan pada putusan-putusan argumentasi matematika.
Pandangan Kant tentang
peran intuisi dalam matematika telah memberikan gambaran yang jelas tentang
landasan, struktur dan kebenaran matematika. Lebih dari itu, jika kita
mempelajari lebih lanjut teori pengetahuan dari Kant, yang di dalamnya
didominasi pembahasan tentang peran dan kedudukan intuisi, maka kita juga akan
memperoleh gambaran tentang perkembangan landasan matematika dari masa Plato
hingga filsafat matematika kontemporer, melalui benang merah filsafat
intutionism dan constructivism, (Marsigit).
Menurut Kant (dalam
Marsigit) matematika merupakan suatu penalaran yang berifat mengkonstruksi
konsep-konsep secara synthetic a priori dalam konsep ruang dan waktu.
Tujuan utama dari
filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami
realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan
tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori,
yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan
teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan
hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum
moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Kant membedakan
jenis-jenis putusan menjadi dua jenis yang selama ini diterima umum. Kedua
jenis putusan itu adalah (1) putusan analitis, dan (2) putusan sintetis. Pada
putusan analitis, predikat sudah terkandung dalam subjek. Di sini predikat
dalam putusan adalah analisis atas subjek, karena itu tidak ada unsur baru
dalam putusan itu. Sifat putusan analitis adalah apriori murni, disebut juga
pengetahuan murni. Disebut demikian karena konsep-konsep yang membangun
pengetahuan tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan berasal dari
struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri (kosong dari pengaman empiris).
Sementara dalam putusan sintetis, predikat tidak terkandung dalam subjek.
Predikat memberikan informasi baru yang sifatnya aposteriori. Jenis putusan
sintetis adalah aposteriori. Ilmu alam memiliki karakter putusan sintetis ini.
Ada jenis
pengetahuan lain yang tidak bersifat apriori murni tetapi juga bukan sintetis
aposteriori. Jenis putusan ketiga inilah yang diusulkan dan menjadi sumbangan
terbesar Immanuel Kant, yakni putusan sintetis apriori. Menurut Kant, selalu
ada dua unsur dalam setiap penampakan objek, yakni unsur materi (materia) dan
unsur bentuk (forma). Unsur materi selalu berhubungan dengan isi pengindraan,
sementara unsur bentuk memungkinkan berbagai penampakan tersusun dalam
hubungan-hubungan tertentu. Di sini forma atau bentuk merupakan unsur apriori
dari pengindraan sementara materi merupakan unsur aposteriori. Dalam setiap
pengindraan, selalu beroperasi dua kategori ini dalam rasio manusia, yakni
forma ruang (raum) dan forma waktu (Zeit). Kant menunjukkan adanya sintesis
jenis pengetahuan rasionalisme dan pengetahuan empirisme. Sehingga dalam
pemikiran Kant jelas diperlihatkan bagaimana unsur jenis pengetahuan analitis
apriori (rasionalisme) dan sintetis aposteriori (empirisme) dapat didamaikan.
Bagi Kant, putusan-putusan yang adalah pengetahuan tidak lain adalah sintesis
antara aspek aposteriori (benda yang menampakan diri dan yang sudah melalui
proses pengindraan internal) dengan aspek apriori.
Kritisme Kant
dapat dianggap sebagai usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dan
empirisme, ia menyampaikan ciri-ciri kritisme dalam tiga hal (Juhaya, 2010:
114), yaitu:
a. Menganggap
bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek bukan pada objek.
b. Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakekat
sesuatu, rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
c. Menjelaskan
bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan unsur
Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan
peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Menurut Kant,
dalam (Juhaya, 2010: 116) agar orang dapat bersifat objektif dalam dunia ilmu
pengetahuan maka orang harus menghindari dari sifat sepihak rasionalisme dan
sifat sepihak empirisme. Selanjunya Kant menyatakan dua syarat dasar bagi
segala ilmu pengetahuan, yaitu; a). Bersifat umum dan mutlak dan b). Memberi
pengetahuan yang baru.
Juahaya
mengungkapkan terdapat dua jenis pengetahuan yaitu pengetahuan mengenai (Knowlwdge about) dan pengetahuan tentang
(Knowledge of). Pengetahuan mengenai
dinamakan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini
ada perantaranya. Pengetahuan tantang disebut pengetahuan yang langsung atau
pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.
Intuisi
mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis,
dan memberikan kepada kita keseluruhan yang bersahaja, yang mutlak tanpa suatu
ungkapan, terjemahan atau penggambaran secara simbolis.
Menurut Bergson
dalam Juhaya (2003:32) Intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung atau seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif.
Kasstoff (2004:
142) mengingatkan intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi
yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme
–setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk- hanya mengatakan bahwa pengetahuan
yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang
nisbi, yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analitis. Sesuatu tidak
pernah merupakan seperti yang nampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang
dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.
Kesimpulan
Ketiga aliran filsafat yang diuraikan di
atas sebagai karya manusia tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Dengan memahami kelebihan dan kekurangan ketiga aliran filsafat
tersebut dan disintesiskan dengan karakter matematika sekolah guru dapat
melakukan eksperimen untuk memformulasikan dan mengemas pembelajaran matematika
sefamiliar mungkin dengan kebutuhan siswa.
Cara siswa dalam mencari kebenaran dan alasan
di baliknya bisa diilustrasikan dengan cara kerja ketiga aliran filsafat
tersebut. Siswa mengawali pencarian pengetahuannya berawal dari pengamatan
objek-objek matematika, yang diserap melalui penginderaan. Pengamatan ini tiada
lain adalah sebuah pengalaman atau empiris. Pemehaman maupun konstruksi
matematika diperoleh dengan cara terlebih dulu menemukan “intusi murni” pada
akal atau pikiran kita. Selanjutnya dikonstruksi melalui 3 tahap intuisi yaitu
“intuisi penginderaan”, “intuisi akal”, dan “intuisi budi”. Intuisi
penginderaan terkait dengan objek matematika yang dapat dicerap sebagai unsur a posteriori. Intuisi akal (Verstand) mengsintesiskan hasil intuisi penginderaan
ke dalam intuisi “ruang” dan “waktu”. Dengan intuisi budi “vernuft”, rasio kita dihadapkan pada putusan-putusan argumentasi
matematika.
Namun harus dipertimbangkan juga bahwa
setiap siswa adalah unik, cara siswa memperoleh pengetahuannya tentu
berbeda-beda. Hal ini juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun
bahan ajar. Dengan menggabungkan beberapa pendekatan aliran filsafat diatas dan
diramu menjadi suatu sajian pembelajaran matematika muddah-mudahan dapat
mengakomodasi keberagaman gaya siswa tersebut.
Berani melakukan eksperimen yang
dilandasi suatu teori harus sering kita lakukan dalam rangka mencari formulasi
pembelajaran matematika yang lebih baik. Pembelajaran matematika yang kita
rancang harus dapat mengakomodasi semua keberagaman potensi dan karakter siswa
kita. Budaya penelitianpun harus kita mulai lakukan dalam rangka menemukan
alternatif pemecahan masalah pembelajaran yang sering kita hadapi.
Seperti telah disampaikan pada
pendahuluan tulisan ini bahwa filsafat “tidak membuat roti”, namun filsafat
menyediakan resep dan cara-cara membuat roti yang bermutu. Begitu juga dengan
pembelajaran metematika, filsafat tidak membuat “silabus”, “RPP”, atau “bahan
ajar”, namun filsafat membimbing kita untuk dapat membuat semua itu menjadi nyata
dan lebih baik lagi.
Daftar
Pustaka
Juhaya
S. Praja, Prof. Dr., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2010
Marsigit,
Dr, Peran Intuisi Dalam Matematika Menurut Immanuel Kant, Makalah Pada
Konferensi Nasional Matematika di Semarang.
Kattsoff.
O Louis, Element of Philosophy, alih
bahasa oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar