Minggu, 11 November 2012

PEMBELAJARAN MATEMATIKA RASIONAL, EMPIRIS DAN INTUITIF


PENDAHULUAN

Manusia dalam mencari ilmu pengetahuan menggunakan berbagai cara, ada yang menggunakan cara-cara yang terstruktur dengan rapi, secara sadar, sistematis, menggunakan prosedur-prosedur yang jelas dan diuji kebenarannya dengan cara-cara ilmiah. Ada pula yang menggunakan cara yang tidak terstruktur, bersifat acak, tidak menggunakan prosedur yang jelas serta tidak diuji kebenarannya secara ilmiah. Dalam perkembangannya pemerolehan ilmu pengetahuan semakin mengerucut menggunakan cara-cara yang semakin terstruktur dengan baik. Diawali dengan kajian-kajian yang dilakukan oleh para filsuf pada jamannya masing-masing, yang memilki aliran pemikiran yang khas, yang saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lainnya.
Pemikiran yang kritis dan cermat dari para filsuf sangat berperan pada perkembangan ilmu pengetahuan, memang filsafat tidak bisa membuat “HP yang mutakhir”, filsafat tidak membuat “Sepotong Roti”, atau filsafat tidak membuat “Model pembelajaran yang Baik”. Tujuan filsafat ialah mengumpulkan ilmu pengetahuan manusia sebanyak mungkin, menyusunnya dan mengatur semua itu dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita pada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak, (Kattsoff, 2004: 3).
Siswa khususnya siswa Sekolah Dasar dan Menengah adalah manusia-manusia yang tengah berusaha mencari, mengumpulkan, dan menyusun ilmu pengetahuan untuk digunakan dalam rangka meraih kehidupann yang lebih baik. Dalam pencariannya tersebut tentu memerlukan orang dewasa yang dapat memberi petunjuk, mengarahkan agar proses pencarian ilmunya berjalan dengan baik. Disinilah Guru sebagai “Orang Tua” di sekolah bisa berperan sebagai penuntun, pemberi arah dengan menyajikan pembelajaran yang baik, yang bisa memacu siswa untuk berperan sebagai pencari ilmu bukan penerima ilmu.
Untuk mewujudkan harapan tersebut tentunya guru harus mumpuni, harus bekerja dengan profesional, menguasai bebagai ilmu yang berhubungan dengan pembelajaran, ilmu tentang perkembangan siswa, ilmu bidang yang dihadapinya, menguasai berbagai pendekatan, model, serta berbagai metoda pembelajaran. Yang tidak kalah penting harus dapat menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan bukan sebagai objek. Siswa harus diberi ruang dan kesempatan yang banyak untuk membangun khasanah keilmuannya dengan cara yang ilmiah. logis, serta sesuai dengan perkembangan psikologis dan kognisinya.
Guru dapat meramu “sajian pembelajaran” untuk siswanya dengan cara memilih atau memadukan berbagai gagasan, pandangan para filsuf atau biasa disebut aliran filsafat. Pemilihan aliran filsafat yang sesuai digabungkan dengan keterampilan pembelajaran yang lainnya diharapkan dapat menjadikan pembelajaran menarik, menggairahkan, serta dapat menggugah selera intelektualitas siswa, sehingga siswa dapat merasakan kelezatan pembelajaran dan timbul rasa ketagihan untuk belajar dan belajar lagi.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas penulis akan mencoba membuat “Resep Pembelajaran Matematika” yang dapat menggugah hasrat siswa untuk belajar. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi ilham atau inspirasi bagi pelaku pendidikan yang kompeten untuk membuat sistem pendidik yang lebih baik yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita, sehingga dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas, amiii....n.


KAJIAN TEORI

A.           Ilmu dan Filsafat
Telah banyak orang yang mencoba membuat definisi tentang filsafat dan banyak pula yang telah mencoba membatasi aliran-aliran dan ruang lingkup filsafat. Selama sejarah peradaban Barat, filsafat dipandang meliputi setiap hal, mulai dari sikap pribadi orang terhadap dunia disekitarnya sampai dengan seluruh jumlah pengetahuan manusia. Aristoteles contohnya telah menulis tentang metafisika, etika, politik, biologi, fisika, bahasa dan masih banyak lagi. Dewasa ini ada yang hendak membatasi ruang lingkup filsafat agar hanya berkisar pada pertanyaan-pertanyaan tentang logika dan sintaksis, Kattsoff (2004: 63)
Filsafat merupakan perjuangan yang berlangsung terus menerus untuk menyesuaikan yang lama dengan yang baru di dalam suatu kebudayaan dan peradaban manusia. Bagi Dewey filsafat ialah suatu percobaan untuk mengadakan penyesuaian terhadap fakta perubahan kebudayaan. Filsafat adalah hasil yang berasal dari hasrat atau lebih tepat disebut tuntutan, yang menginginkan bahwa hidup itu haruslah bermakna, Filsafat melihat ke masa yang lampau tetapi juga melihat ke masa yang akan datang, Kattsoff (2004: 65).
Bertrand Russell dalam Kattsoff (2004: 85) mengatakan “seseorang tidak harus menjadi seorang filsuf yang baik dengan jalan mengetahui fakta-fakta ilmiah yang lebih banyak; melainkan asa-asas serta metede-metode dan pengertian-pengertian yang umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu jika ia tertarik pada filsafat.” Ditinjau dari sudut pandang yang lain, hasil-hasil dari ilmu modern juga penting bagi seorang filsuf.
Selanjutnya Kattsoff (2004: 85) mengatakan bahwa perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu pandangan dunia yang sistematis. Dengan berbuat demikian berarti pula sekedar meliputi asas-asas yang sedemikian rupa keadaanya sehingga tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan serta hasil-hasil ilmu yang telah dikenal.
Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat. Tiap filsuf dari suatu periode lebih condong untuk merefleksikan pandangan ilmiah pada periode tersebut. Sementara itu, ilmu pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah, (Juhaya S.Praja, 2003: 13).
Selanjutnya menurut Juhaya S. Praja (2003: 13) Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong kita untuk menengok kembali ide-ide dan interpretasi kita, baik itu dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang lain.
Ilmu dan filsafat kedua-duanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari objenya masing-masing. Filsafat mementingkan hubungan-hubungan anatara fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman inderawi, sedangkan filsafat berusaha menghubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakekat kebenaran, (Juhaya S. Praja, 2003: 14).
Dari kenyataan-kenyataan di atas ternyata antara filsafat dan ilmu hubungannya sangatlah erat, satu sama lainnya saling melengkapi. Banyak filsuf terkenal berasal dari ilmuwan, namun banyak pula pemikiran para filsuf besar menjadi landasan bagi para ilmuwan untuk mengungkap fenomena alam menjadi ilmu pengetahuan aplikatif. Ilmu pengetahuan memberi inspirasi untuk kajian filsafat dan sebaliknya cara pemikiran filsuf yang bersifat prosedural, logis dan sistematis memberikan sumbangan pada kemajuan peradaban dunia sampai sekarang yang kita rasakan.

B.            Matematika
Matematika sebagai ilmu lahir seiring dengan keberadaan manusia, bisa dikatakan matematika merupakan ilmu tertua yang ada di muka bumi. Banyak kajian matematika yang dilakukan oleh filsuf, namun banyak pula matematikawan sekaligus juga menjadi seorang filsuf. Filsafat matematika dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat ilmu, di samping disiplin ilmu seperti filsafat fisika dan filsafat biologi. Namun, karena pokok permasalahannya, filsafat matematika menempati tempat khusus dalam filsafat ilmu. Metode investigasi dalam matematika berbeda dari metode-metode penyelidikan dalam ilmu alam. Pengetahuan Ilmu alam diperoleh dengan menggunakan metode induktif, pengetahuan matematika tampaknya diperoleh dengan cara yang berbeda, yaitu, dengan deduksi dari prinsip-prinsip dasar. Teori-teori ilmu-ilmu alam tampaknya kurang yakin dan lebih terbuka untuk revisi dari teori matematika.
Matematika merupakan ilmu deduktif, yang berbeda berbeda dengan ilmu lain. Penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat di dalam ilmu-ilmu empiris, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi (penjabaran-penjabaran)
Matematika dapat dipandang dari beberapa sisi yang berbeda, diantaranya matematika sebagai ilmu pasti, matematika sebagai ilmu murni, serta matematika sebagai matematika sekolah. Masing-masing jenis tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda sesuai dengan pandangan dan latar belakangnya. Yang akan dibicarakan dalam konteks tulisan ini adalah matematika sekolah.
Matematika sekolah dimaksudkan sebagai matematika yang diajarkan di sekolah, terutama di sekolah dasar dan menengah. Tentunya karakter matematika sekolah berbeda dengan karakter matematika murni, matematika sekolah disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan psikologis siswa. Matematika sekolah relatif bersahabat dengan siswa, karena matematika sekolah memiliki karakter sebagai kegiatan yaitu; a). Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola, b) matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah, c) matematika sebagai kegiatan komunikasi
Titik berat matematika sekolah lebih kepada kegiatan yang melibatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, siswa diberi ruang dan kesempatan yang luas untuk mencari dan mengkonstruk sendiri pengetahuan matematikanya. Dengan pandangan seperti ini diharapkan siswa terbiasa untuk aktif dalam mencari ilmu, bukan hanya mendengar, mencatat, menghafal.
Berdasarkan karakter matematika sekolah di atas ada beberapa aliran filsafat yang kiranya dapat dijadikan sebagai rujukan untuk membangun matematika sekolah yang lebih mencerminkan sebagai kegiatan. Pada bagian berikutnya akan dipaparkan beberapa aliran filsafat secara singkat.

C.           Aliran-Aliran dalam Filsafat
Dalam perkembangannya filsafat dari waktu ke waktu saling menyempurnakan antara satu aliran pemikiran dengan aliran pemikiran yang lainnya. Aliran pemikiran yang datang belakangan biasanya merupakan anti tesis dari aliran pemikiran sebelumnya, dan selanjutnya menyempurnakannya. Maka dikenalah berbagai aliran filsafat baik secara ontologi maupun secara epistimologinya sesuai dengan filsuf yang memikirkannya.
Keanekaan aliran filsafat itu dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam esensi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ; Apakah yang diketahui oleh akal manusia? Dari manakah ilmu pengetahuan diperoleh? Apakah kemampuan  manusia terbatas dalam fakta pengalaman indera atau manusia dapat mengetahui yang lebih jauh daripada apa yang dapat diungkapkan oleh indera?
Istilah yang digunakan untuk nama teori pengetahuan adalah epistimologi, yang berasal dari kata Yunani epistemi (pengetahuan) dan logy yang berarti teori, (Juhaya, 2010: 87).
Selannjutnya ia mengatakan terdapat tiga persoalan dalam bidang ini, yaitu:
1.      Apakah sumber pengetahuan itu? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita dapat mengetahui?
2.      Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengetahuinya?
3.      Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan?
Di bawah ini akan disajikan beberapa aliran filsafat yang dianggap populer pada jamannya. Dengan mempelajari aliran-aliran tersebut diharapkan akan menambah wawasan kita tentang filsafat dan bisa mentranfer pola pikir filsafat tersebut ke dalam bidang ilmu pengetahuan yang kita geluti khususnya dalam bidang pendidikan yang pada akhirnya kita bisa menjadi pendidik yang baik, yang berkualitas yang nisa melahirkan generasi yang berilmu dan berakhlak serta beriman.
1.                  Rasionalisme Rene Descartes
Disebut rasionalisme karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio.
Rene Descartes (31 Maret 1596 - 11 Februari 1650) adalah sorang filsuf Perancis, matematikawan, fisikawan dan penulis. Dia dijuluki “Bapak Filsafat Modern” karena ia berperan besar dalam membangun sistem pertama filsafat modern. Selain itu dia juga dinobatkan sebagai bapak geometri analitis karena sumbangannya yang penting terhadap ilmu aljabar dan karena penemuannya tentang sistem kordinat Cartesius. Descartes adalah seorang tokoh besar pada abad ke-17 sebagai seorang filsuf rasionalisme.
Pokok pemikiran Descartes adalah bahwa akal merupakan satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Dia menolak semua pemikiran yang bisa diragukan, lalu dia membangun kembali pemikiran itu untuk mendapatkan dasar yang kuat untuk pengetahuan yang murni. Pada awalnya, Descartes sampai pada satu prinsip dasar, yaitu berpikir ada. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia pun ada. Ungkapan ini lebih dikenal dengan cogito ergo sum yang dalam bahasa Inggris adalah i think therefore i am atau “aku berpikir,maka aku ada” dalam bahasa Indonesia. Descartes menyimpulkan jika dia ragu lalu seseorang atau sesuatu diharuskan untuk ragu, sehingga faktanya adalah keraguannya membuktikan keberadaannya. Dia merasakan tubuhnya melalui indera,namun indera tersebut tidak bisa dipercaya. Menurutnya, berpikir adalah satu-satunya hal yang tidak bisa diragukan. Sedangkan indera adalah hal yang menurutnya tidak pasti dan menipu.
Uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih (adequate) menurutnya harus memperhatikan empat hal (dalam Juhaya, 2010:95-96), sebagai berikut:
1.      Tidak menerima sesuatupun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.      Pecahkan setiap kesulitan atau masalah itu menjadi sebanyak mungkin bagian sehingga tidak ada keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
3.      Bimbinglah pikiran dengan teratur dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.      Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Filsafat Descartes selajutnya mendapat kritik dari beberapa filsuf lainnya, diantaranya adalah kecenderungannya yang sangat kuat terhadap subjektivitas, setiap orang memiliki kecenderungan, karakteristik dan kapasitas berpikir yang berbeda-beda.
Honer dan Hunt dalam (Juhaya, 2010: 101) mengkritik rasionalisme dari segi kegagalanya menjelaskan perubahan dan pertumbuhan pengetahuan manusia. Banyak ide yang sudah dianggap pasti namun pada suatu saat mengalami perubahan.
Barangkali Spinozalah yang paling tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh orang yang menganut rasionalisme, (Juhaya,2003: 27). Ia berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur. Spinoza mengatakan bahwa dalili-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya Spinoza menyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam dalili-dalil ilmu ukur, maka ia mau tidak mau tentu akan memahami kebenaran dalil-dalil tersebut.
2.                  Empirisme
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Tokoh filsuf empirisme diantaranya adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1665 – 1753), dan David Hume (1711 – 1716).
Hobbes beraggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan, ia tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi ruhani. Menurutnya seluruh dunia termasuk manusia merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja.
Filsafat Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang “yang ada” secara mekanis, (Juhaya, 2010: 106-107)
Menurut Locke rasio manusia harus dianggap sebagai “lembaran kertas putih” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menghasilkan ide-ide tunggal. Menurutnya ruh manusia bersifat pasif  dalam menerima ide-ide, namun ruh juga mempunyai aktivitas, dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu bangunan ruh manusia dapat membentuk ide majemuk.
Berkeley mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia berpendapat bahwa tidak ada substansi-substansi material, yang ada hanyalah pengalaman dalam ruh saja.
Empirisme berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara paling radikal. Ia tidak menerima substansi sebab yang dialami ialah kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu terdapat bersama-sama. Tetapi atas dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang ciri-ciri itu masih ada suatu substansi tetap, (Juhaya, 2010: 111 - 112).

3.                  Intuisionisme
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant, Immanuel Kant (22 April 1724 - 12 Februari 1804) adalah seorang filsuf asal Jerman pada abad ke-18. Kant menciptakan sebuah perspektif baru dalam filsafat yang berpengaruh luas pada filsafat terus berlanjut sampai ke abad ke 21.
Pandangan Kant tentang matematika dapat memberi sumbangan yang berarti ditinjau dari sisi filsafat matematika terutama tentang peranan intuisi dan konstruksi konsep matematika. Michael Friedman dalam Marsigit menyebut bahwa apa yang dicapai Kant telah memberi kedalaman dan ketepatan tentang landasan matematika.
Menurut Kant dalam Marsigit ‘pemehaman maupun konstruksi matematika diperoleh dengan cara terlebih dulu menemukan “intusi murni” pada akal atau pikiran kita. Selanjutnya menurut Marsigit Matematika yang bersifat “sintetik a priori” dapat dikonstruksi melalui 3 tahap intuisi yaitu “intuisi penginderaan”, “intuisi akal”, dan “intuisi budi”. Intuisi penginderaan terkait dengan objek matematika yang dapat dicerap sebagai unsur a posteriori. Intuisi akal (Verstand) mengsintesiskan hasil intuisi penginderaan ke dalam intuisi “ruang” dan “waktu”. Dengan intuisi budi “vernuft”, rasio kita dihadapkan pada putusan-putusan argumentasi matematika.
Pandangan Kant tentang peran intuisi dalam matematika telah memberikan gambaran yang jelas tentang landasan, struktur dan kebenaran matematika. Lebih dari itu, jika kita mempelajari lebih lanjut teori pengetahuan dari Kant, yang di dalamnya didominasi pembahasan tentang peran dan kedudukan intuisi, maka kita juga akan memperoleh gambaran tentang perkembangan landasan matematika dari masa Plato hingga filsafat matematika kontemporer, melalui benang merah filsafat intutionism dan constructivism, (Marsigit).
Menurut Kant (dalam Marsigit) matematika merupakan suatu penalaran yang berifat mengkonstruksi konsep-konsep secara synthetic a priori dalam konsep ruang dan waktu.
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Kant membedakan jenis-jenis putusan menjadi dua jenis yang selama ini diterima umum. Kedua jenis putusan itu adalah (1) putusan analitis, dan (2) putusan sintetis. Pada putusan analitis, predikat sudah terkandung dalam subjek. Di sini predikat dalam putusan adalah analisis atas subjek, karena itu tidak ada unsur baru dalam putusan itu. Sifat putusan analitis adalah apriori murni, disebut juga pengetahuan murni. Disebut demikian karena konsep-konsep yang membangun pengetahuan tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan berasal dari struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri (kosong dari pengaman empiris). Sementara dalam putusan sintetis, predikat tidak terkandung dalam subjek. Predikat memberikan informasi baru yang sifatnya aposteriori. Jenis putusan sintetis adalah aposteriori. Ilmu alam memiliki karakter putusan sintetis ini.
Ada jenis pengetahuan lain yang tidak bersifat apriori murni tetapi juga bukan sintetis aposteriori. Jenis putusan ketiga inilah yang diusulkan dan menjadi sumbangan terbesar Immanuel Kant, yakni putusan sintetis apriori. Menurut Kant, selalu ada dua unsur dalam setiap penampakan objek, yakni unsur materi (materia) dan unsur bentuk (forma). Unsur materi selalu berhubungan dengan isi pengindraan, sementara unsur bentuk memungkinkan berbagai penampakan tersusun dalam hubungan-hubungan tertentu. Di sini forma atau bentuk merupakan unsur apriori dari pengindraan sementara materi merupakan unsur aposteriori. Dalam setiap pengindraan, selalu beroperasi dua kategori ini dalam rasio manusia, yakni forma ruang (raum) dan forma waktu (Zeit). Kant menunjukkan adanya sintesis jenis pengetahuan rasionalisme dan pengetahuan empirisme. Sehingga dalam pemikiran Kant jelas diperlihatkan bagaimana unsur jenis pengetahuan analitis apriori (rasionalisme) dan sintetis aposteriori (empirisme) dapat didamaikan. Bagi Kant, putusan-putusan yang adalah pengetahuan tidak lain adalah sintesis antara aspek aposteriori (benda yang menampakan diri dan yang sudah melalui proses pengindraan internal) dengan aspek apriori.
Kritisme Kant dapat dianggap sebagai usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dan empirisme, ia menyampaikan ciri-ciri kritisme dalam tiga hal (Juhaya, 2010: 114), yaitu:
a.       Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek bukan pada objek.
b.      Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakekat sesuatu, rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
c.       Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Menurut Kant, dalam (Juhaya, 2010: 116) agar orang dapat bersifat objektif dalam dunia ilmu pengetahuan maka orang harus menghindari dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Selanjunya Kant menyatakan dua syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan, yaitu; a). Bersifat umum dan mutlak dan b). Memberi pengetahuan yang baru.
Juahaya mengungkapkan terdapat dua jenis pengetahuan yaitu pengetahuan mengenai (Knowlwdge about) dan pengetahuan tentang (Knowledge of). Pengetahuan mengenai dinamakan pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada perantaranya. Pengetahuan tantang disebut pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung.
Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis, dan memberikan kepada kita keseluruhan yang bersahaja, yang mutlak tanpa suatu ungkapan, terjemahan atau penggambaran secara simbolis.
Menurut Bergson dalam Juhaya (2003:32) Intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung atau seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Kasstoff (2004: 142) mengingatkan intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme –setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk- hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi, yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analitis. Sesuatu tidak pernah merupakan seperti yang nampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.



Kesimpulan

Ketiga aliran filsafat yang diuraikan di atas sebagai karya manusia tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan memahami kelebihan dan kekurangan ketiga aliran filsafat tersebut dan disintesiskan dengan karakter matematika sekolah guru dapat melakukan eksperimen untuk memformulasikan dan mengemas pembelajaran matematika sefamiliar mungkin dengan kebutuhan siswa.
Cara siswa dalam mencari kebenaran dan alasan di baliknya bisa diilustrasikan dengan cara kerja ketiga aliran filsafat tersebut. Siswa mengawali pencarian pengetahuannya berawal dari pengamatan objek-objek matematika, yang diserap melalui penginderaan. Pengamatan ini tiada lain adalah sebuah pengalaman atau empiris. Pemehaman maupun konstruksi matematika diperoleh dengan cara terlebih dulu menemukan “intusi murni” pada akal atau pikiran kita. Selanjutnya dikonstruksi melalui 3 tahap intuisi yaitu “intuisi penginderaan”, “intuisi akal”, dan “intuisi budi”. Intuisi penginderaan terkait dengan objek matematika yang dapat dicerap sebagai unsur a posteriori. Intuisi akal (Verstand) mengsintesiskan hasil intuisi penginderaan ke dalam intuisi “ruang” dan “waktu”. Dengan intuisi budi “vernuft”, rasio kita dihadapkan pada putusan-putusan argumentasi matematika.
Namun harus dipertimbangkan juga bahwa setiap siswa adalah unik, cara siswa memperoleh pengetahuannya tentu berbeda-beda. Hal ini juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun bahan ajar. Dengan menggabungkan beberapa pendekatan aliran filsafat diatas dan diramu menjadi suatu sajian pembelajaran matematika muddah-mudahan dapat mengakomodasi keberagaman gaya siswa tersebut.
Berani melakukan eksperimen yang dilandasi suatu teori harus sering kita lakukan dalam rangka mencari formulasi pembelajaran matematika yang lebih baik. Pembelajaran matematika yang kita rancang harus dapat mengakomodasi semua keberagaman potensi dan karakter siswa kita. Budaya penelitianpun harus kita mulai lakukan dalam rangka menemukan alternatif pemecahan masalah pembelajaran yang sering kita hadapi.
Seperti telah disampaikan pada pendahuluan tulisan ini bahwa filsafat “tidak membuat roti”, namun filsafat menyediakan resep dan cara-cara membuat roti yang bermutu. Begitu juga dengan pembelajaran metematika, filsafat tidak membuat “silabus”, “RPP”, atau “bahan ajar”, namun filsafat membimbing kita untuk dapat membuat semua itu menjadi nyata dan lebih baik lagi.

Daftar Pustaka

Juhaya S. Praja, Prof. Dr., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010
Marsigit, Dr, Peran Intuisi Dalam Matematika Menurut Immanuel Kant, Makalah Pada Konferensi Nasional Matematika di Semarang.
Kattsoff. O Louis, Element of Philosophy, alih bahasa oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar